Industri Hasil Tembakau

Belajar Proteksi Kretek dari Amerika Serikat

rokok kretek filter

Negara maju seperti Amerika Serikat terus mendorong pembatasan tembakau global. Padahal bisnis tembakau di negerinya sendiri dilindungi sedemikian rupa lewat berbagai regulasi. Di sisi lain, negeri berkembang seperti Indonesia terus ditekan untuk memberangus kretek. Letter of Intent yang diteken pemerintah Indonesia dengan IMF pasca krisis 1998 menghilangkan berbagai instrumen proteksi seperti pajak, cukai, dan bea masuk sektor pertanian, tak terkecuali tembakau.

Amerika Serikat adalah negara produsen tembakau nomor empat di dunia dengan jumlah petani hanya 57 ribu orang. Petani tembakau di AS diberi subsidi sebesar 203 juta dolar AS pada 2009, atau 944 juta dolar AS sepanjang 1995–2009. Untuk urusan proteksi, AS lewat US Food and Drug Administration (FDA) melarang impor kretek masuk. Proteksi yang diberlakukan berupa hambatan non-tarif dan hambatan tarif.

Hambatan non-tarif (non tariff barrier) berupa regulasi yang melarang impor kretek, yakni UU Kontrol Tembakau (Tobacco Control Act). UU Kontrol Tembakau melarang produksi dan penjualan rokok yang mengandung zat adiktif tertentu, termasuk cengkeh, di AS. Kebijakan UU Kontrol Tembakau didukung korporasi rokok besar AS seperti Philip Morris dan British American Tobacco (BAT).

Kenapa perusahaan rokok bisa mendukung UU yang jelas ingin mengontrol produksi dan peredaran tembakau? Alasannya karena UU Kontrol Tembakau menguntungkan perusahaan rokok AS.

UU Kontrol Tembakau melarang produksi dan penjualan kretek sebab dianggap mengandung zat adiktif dan punya risiko kesehatan. Lain dengan rokok mentol. Rokok mentol dianggap tidak punya risiko kesehatan. Padahal tidak ada hasil penelitian yang menunjukan risiko kesehatan dari kedua rokok tersebut. UU Kontrol Tembakau menyebabkan Indonesia kehilangan 200 juta AS per tahun.

UU Kontrol Tembakau sebenarnya melanggar perjanjian hambatan non tarif WTO. Untuk itu pemerintah Indonesia sudah layangkan nota protes ke WTO, namun belum dapat tanggapan serius.

Hambatan tarif (tariff barrier) untuk produk tembakau yang ingin masuk ke AS berupa pengenaan bea masuk yang sangat tinggi bagi produk tembakau asing. Setiap produk tembakau yang masuk pasar AS dikenakan bea masuk sampai 350%. Bandingkan dengan bea masuk untuk produk yang sama di Indonesia yang hanya 40%.

Sementara proteksi berlapis diterapkan AS di negerinya, ekspansi perusahaan rokok multinasional AS di luar negeri terus melaju. Philip Morris telah mencaplok perusahaan rokok di puluhan negara. Di Indonesia Philip Morris mencaplok HM Sampoerna pada bulan Maret 2005. Nilai akuisisi mencapai 48 triliun rupiah. Uniknya, akuisisi ini dilakukan hampir berbarengan dengan pemberlakuan efektif kerangka pengendalian tembakau (FCTC) pada 27 Februari 2005.

Empat tahun kemudian, pada Juni 2009 BAT mencaplok Bentoel, perusahaan kretek terbesar keempat di Indonesia.

Sementara, sejak tahun 2009 pemerintah Indonesia, lewat menteri keuangan terus menaikan cukai rokok. Akibatnya ratusan perusahaan kretek di Indonesia gulung tikar. Penerapan cukai tinggi mempersempit persaingan. Ujung-ujungnya korporasi rokok multinasional seperti Philip Morris dan BAT yang selalu menang.

Indonesia mestinya bisa belajar dari AS dalam melindungi produk nasionalnya. Apalagi kretek bukan sekedar industri, lebih dari itu, kretek adalah warisan budaya yang telah jadi karakteristik khas rokok Indonesia. [F]

 

Sumber foto: Eko Susanto

Tentang Penulis

Muhammad Firman Eko Putra

Muhammad Firman Eko Putra

Penyuka teh, buku, dan petualangan.

Tinggalkan komentar