Kontribusi industri hasil tembakau adalah setoran cukai bagi pemasukan dalam anggaran negara, selain berbagai pajak lainnya. Sejak 1988, setoran cukai industri rokok sudah menembus di atas Rp 1 triliun. Sepuluh tahun berikutnya, pada 1998, sudah berada di atas Rp 6 triliun. Sepuluh berikutnya lagi, sudah mencapai hampir Rp 50 triliun. Bahwa setoran cukai industri rokok cenderung melonjak setiap tahun, tidak pernah turun.
Setoran cukai yang diwajibkan kepada perusahaan-perusahaan industri rokok, tidak terpengaruhi dengan kejatuhan sejumlah perusahaan. Banyak perusahaan industri rokok yang menderita kebangkrutan atau tidak beroperasi lagi, justru tidak menyusutkan jumlah penerimaan negara dari cukai.
Sepanjang 2007-2011, kecenderungan yang terjadi adalah menyusutnya jumlah perusahaan industri rokok. Dalam lima tahun itu, jumlah produksi rokok telah bertambah dari 231 miliar (2007) batang menjadi 279,4 miliar batang (2011). Dengan demikian, penerimaan negara dari setoran cukai cenderung meningkat, karena jumlah produksi rokok terus meningkat.
Perusahaan-perusahaan industri rokok berkepentingan memproduksi rokok sebanyak mungkin untuk digelindingkan ke pasar baik domestik maupun ekspor. Terjadi persaingan ketat di antara sesama perusahaan industri rokok kretek maupun rokok putih.
Rokok kretek tetap menguasai lebih dari 90% pangsa pasar, sedangkan rokok putih hanya stagnan pada 7%. Gabungan Pengusaha Rokok Putih (Gaprindo) mengungkapkan kesulitan rokok putih dalam meningkatkan jumlah produksinya, karena peminat rokok putih kian tertekan.
Di satu sisi persaingan itu kian ketat dan keras seiring kebijakan pemerintah yang mengeluarkan road map, dengan proyeksi produksi rokok pada 2015 hanya sebatas 265 milliar batang. Perusahaan-perusahaan industri rokok dipaksa untuk memperebutkan jumlah hanya sebatas itu. Namun di sisi lain, pemerintah menggenjot penerimaan negara dari setoran cukai dengan menaikkan tarifnya.
Tahun 2012, pemerintah – dengan persetujuan DPR – telah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 15 persen yang mulai berlaku pada Januari. Implikasi kenaikan tarif cukai adalah perusahaan-perusahaan rokok menaikkan harga jual rokok. Dan kenaikan tarif cukai ini sebagai upaya menekan tingkat konsumsi rokok.
Dengan kenaikan tarif cukai 15% pada 2012, pemerintah memproyeksikan jumlah produksi rokok secara nasional sebanyak 268,7 miliar batang. Jumlah produksi terbanyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang memproduksi jenis sigaret kretek mesin (SKM), dengan jumlah sebanyak 155,5 miliar batang. Paling sedikit adalah sigaret kretek tangan (SKT) golongan II yang diturunkan menjadi 300 juta batang. SKT juga paling rendah dikenakan tarif cukai, hanya Rp 164 per batang.
Dengan menaikkan tarif cukai ini pemerintah menargetkan penerimaan sebesar Rp 72 triliun pada 2012. Berdasar keterangan Dirjen Bea Cukai, realisasi penerimaan negara dari cukai rokok selama 2012 justru melampaui target, yakni sebesar Rp 79,9 triliun. Dengan pendapatan ini berarti pemerintah mendapatkan surplus penerimaan dari cukai sebesar Rp 7,9 triliun.
Sedangkan pernyataan Menteri Keuangan pada akhir 2012 yang mengecilkan kontribusi cukai rokok sebagai andalan, namun mengecap nikmatnya dari kontribusi untuk penerimaan negara yang justru melampaui target, yakni hampir Rp 90 triliun.
Tahun sebelumnya, pemerintah juga mendapatkan penerimaan dari cukai yang melebihi target. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian, target penerimaan cukai sebesar Rp 60,7 triliun, namun realisasinya mencapai Rp 77 triliun. Sehingga tahun 2011 terjadi surplus penerimaan sebanyak Rp 16,3 triliun.
Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD-UI) mengungkapkan, penerimaan negara dari cukai rokok senantiasa mengecap surplus dari target yang ditetapkan. Penerimaan kenaikan cukai pada 2012, meningkat sekitar 16% dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan cukai rokok menguntungkan atau meningkatkan penerimaan negara berkisar 0,66-4,21% kendati dinyatakan untuk membatasi konsumsi rokok.
Perusahaan rokok Djarum diperkirakan membeli pita cukai rokok selama setahun sebesar Rp 12 triliun, sedangkan tahun 2011 membeli pita cukai ini sebesar Rp 10,6 triliun. Dengan pengalaman surplus ini, maka pemerintah berkepentingan untuk terus mengecap lebih banyak lagi penerimaan negara dari kebijakan menaikkan tarif cukai rokok.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan merilis kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2013 dengan besaran rata-rata sekitar 8,5%. Kebijakan cukai ini ditempuh untuk mencapai target penerimaan APBN 2013 dari sektor cukai hasil tembakau sebesar Rp 88,02 triliun yang merupakan hasil kesepakatan optimalisasi penerimaan negara antara Pemerintah dengan DPR.
Kebijakan cukai hasil tembakau tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada 12 November 2012, dengan ketentuan tarif cukainya mulai berlaku pada 25 Desember 2012.
Implikasinya, perusahaan-perusahaan rokok yang tergabung dalam Gappri memastikan kenaikan harga jual rokok berkisar 15-20% untuk mengikuti kenaikan tarif cukai sebesar rata-rata 8,5%.
Sumber foto: Flickr