Kretek bukan rokok yang umum dikenal di seluruh dunia dengan rokok putih, juga bukan cerutu yang sepenuhnya tembakau, melainkan rokok yang mengandung bahan baku lain: cengkeh.
Perbedaan lainnya adalah bunyinya ketika dihisap. Hisapan nyala rokok ini berbunyi khas: “kretek…kretek…kretek!” Bunyi ini keluar dari efek terbakarnya potongan biji cengkeh yang tergulung dan bercampur dengan rajangan kering daun tembakau. Namun sebelum dikenal dengan sebutan dari bunyi ‘kretek’, lebih dulu orang mengenalnya dengan sebutan ‘rokok cengkeh’.
Riwayat industri kretek itu dapat tumbuh karena dipenuhi oleh dua sisi. Satu sisi tersedia kondisi-kondisi yang diperlukan dalam konteks kolonialisme Belanda yang mewadahi. Di satu sisi lain muncul pandangan atau gagasan kreatif masyarakat lokal terhadap jenis rokok yang berbeda.
Dengan daya ciptanya yang merupakan perpaduan antara pengalaman budaya yang diperkenalkan atau dipenetrasi dari luar dengan kreativitas lokal yang melakukan sebuah eksperimen dari pengalaman sendiri, maka pada momen dan tempat yang tepat menghasilkan produk budaya yang unik dan khas yang disebut kretek.
Dulu, pada awal abad ke-17, cengkeh di Ternate, Tidore, dan Ambon, menjadi arena perebutan dan perang dagang sampai VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) melakukan monopoli rempah-rempah.
Sesudah VOC bangkrut dan penguasa Hindia Belanda dirundung kesulitan ekonomi, maka Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dijalankan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch sejak 1830. Belanda mengangkut hasil kerja rodi ini ke Eropa untuk menggerakkan industrialisasi. Salah satu tanaman yang ditanam secara besar-besaran di sekitar Semarang adalah tembakau.
Tahun 1856, penanaman tembakau meluas di daerah Besuki, Pasuruan, Jawa Timur. Tahun 1858, diperluas lagi dengan penanaman jenis tembakau cerutu lainnya di Klaten. Sedangkan di luar Jawa, ditanam tembakau jenis pembungkus cerutu di daerah Deli pada 1863. Selang 20 tahun kemudian, muncul kretek dari buah tangan Haji Djamhari dan Haji Nitisemito yang kemudian merintisnya menjadi produksi industri kretek sebagai komoditas yang diproduksi secara massal.
Selain serpihan cengkeh dalam tembakau, juga terkandung saus. Cengkeh memberi rasa sedikit pedas, kemudian saus menambah rasa yang lain.
Saus sebagai perasa mencirikan selera dan kepekaan, sebagaimana kegemaran yang tercermin dalam tradisi mengunyah sirih pinang yang ditambahkan perasa gambir, cengkeh atau rempah lainnya untuk menghasilkan rasa sedap dan gurih. Semula taburan rasa sedap dalam kretek tidak diimpor, namun seiring membesarnya perusahaan mereka, penyedap rasa ini pun didatangkan dari luar negeri. Ada yang mencampurkan esens buah manis seperti strawberry dan raspberry, namun ada pula memberi cita rasa pedas dengan menaburkan kayu manis. Dan pilihan selera konsumen kretek ini sesuai dengan cita rasa dari masing-masing produk industri kretek.
Kretek itu hadir bersama banyak orang baik sebagai komoditas maupun dalam berbagai aktivitas pribadi dan pergaulan sosial. Sebungkus kretek yang dibeli menjadi milik pribadi sang pembeli. Dalam pergaulan sosial, barang milik pribadi itu dibuka, dan ketika sang pemilik menyulut kretek itu, yang lain pun mengambil sebatang, dan menyulutnya dengan rasa kekeluargaan yang nyaman. Individu lebur ke dalam kolektivitas, tanpa menghilangkan ciri identitas dan aspirasi pribadi. Kretek pun menjadi kekuatan pengikat kebersamaan mereka.
Jauh sebelumnya, kretek adalah karya, cipta, dan wujud kreativitas bangsa. Para perintis yang menanamkan modalnya serta lapisan pekerja yang sudah banting tulang, memiliki pertautan ke hulu di mana petani dan buruh tembakau dan cengkeh memproduksi untuk diolah menjadi produk dan terus menguatkan industri kretek.
Di Desa Legoksari, Temanggung pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, proses penanaman tembakau diawali terlebih dulu dengan kepercayaan dan ritual mereka. Mereka menggelar tikar dan mengelilingi sesajen dalam nampan yang satu berisi buah-buahan dan satu lagi berisi rokok.
Sedangkan yang khusus berisi dua nasi tumpeng – lengkap dengan ayam utuh (ingkung) dan ayam cemani – yang juga ditancapkan lidi-lidi yang sudah ditempeli uang kertas. Selain kepada Tuhan, mereka mengucapkan rasa hormat kepada Ki Ageng Makukuhan yang dipercaya sebagai orang pertama yang membawa bibit tembakau di wilayah Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Prau. Ritual ini juga diakhiri dengan pemanduan oleh seorang pemuka agama yang berlangsung dengan khidmat, sebelum mereka menyantap hidangan dan membawa bibit-bibit tembakau untuk ditanami di lahan-lahan yang sudah disiapkan.
Mereka adalah orang-orang yang menghasilkan tembakau terbaik dan berkualitas tinggi.