Sudah lebih 100 tahun industri rokok kretek tumbuh, memainkan peranan dalam perekonomian, melesat dan mendominasi pasar di negeri sendiri. Perintis pertama rokok kretek pada 1880-an adalah Haji Djamhari di Kudus. Dua perintis berikutnya di permulaan abad ke-20 adalah Haji Nitisemito (Bal Tiga) di Kudus dan Liem Seng Tee (Dji Sam Soe dan Sampoerna) di Surabaya.
Dekade 1950-an, Oei Wie Gwan membangun pabrik yang memproduksi Djarum di Kudus dan Tjou Ing Hwie membentangkan operasi Gudang Garam di Kediri. Sekarang telah menjadi raksasa industri kretek modern yang menembus pasar dunia. Para raksasa dunia pun tergiur mengambil alih perusahaan-perusahaan industri kretek tersebut.
Haji Djamhari yang pertama kali meracik menjadi kretek pada 1880-an. Dari seorang penderita asma, mengoleskan sekujur dada dan punggungnya dengan minyak cengkeh, penyakitnya lambat laun pun berlalu. Lantas diuji-coba rajangan cengkeh dicampur tembakau, kemudian dilinting menjadi rokok. Eksperimen asap rokok yang mengandung cengkeh ini terhisap masuk ke rongga dada hingga proses pengobatan berlangsung lebih cepat. Dengan riwayat ini selain asmanya lebih cepat sembuh, Djamhari juga menemukan formula atau resep rokok yang unik, yakni kretek yang kelak temuannya terwariskan sampai sekarang.
Kretek adalah identitas produk Indonesia seperti halnya cerutu adalah identitas produk Kuba. Salah satu komunitas yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan kretek ke luar Jawa pada 1970-an adalah sejumlah transmigran yang sudah merasa cocok dengan cita rasa khas dan selera mereka terhadap kretek. Dan sejumlah pabrik rokok kretek kecil pun muncul di luar Jawa.
Konsumsi kretek terus meningkat setiap tahun. Sejak pertama kali menjadi industri produksi massal, kretek telah mendapatkan tempatnya pada segmen pasar tertentu. Komoditas ini terus-menerus meluas pasarnya, tidak lagi seputaran Kudus, Kediri, Malang, dan Surabaya, bahkan menembus tapal batas negeri dengan ekspor. Produksi sudah hampir menembus 300 miliar batang.
WHO menyebutkan, ada sekitar 75 juta penduduk Indonesia yang mengkonsumsi rokok, dengan menghabiskan 225 miliar batang dan membelanjakan uang mereka sebanyak Rp100 triliun per tahun.
Warisan Djamhari itu tidak hanya dipancangkan fondasinya oleh para pemilik ladang dan perusahaan, namun juga diolah banyak pekerja – dari ladang-ladang tembakau dan cengkeh sampai pabrik – dengan mengerahkan tenaga kerja mereka untuk memproduksi produk akhir: kretek. Dari tangan-tangan mereka yang menghasilkan kretek, produk ini tersebar ke para distributor, berbagai supermarket, pasar-pasar, toko-toko, kios-kios, gerobak-gerobak dorong, dan pedagang asongan. Dari hasil kerja mereka pula, miliaran batang kretek menembus pasar ekspor seperti ke Malaysia, Singapura, Kamboja, Thailand, Turki, beberapa negeri di Timur Tengah dan Eropa, serta AS. Bahkan, banyak pula warga AS seperti “jatuh cinta” kepada kretek.
Kebanggaan atas produksi Indonesia juga pernah dipertontonkan secara demonstratif oleh mantan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, yang seorang diplomat ulung. Beliau diutus menghadiri penobatan Ratu Elizabeth II – didampingi suaminya Pangeran Philip yang bergelar Duke of Edinburg – pada Juni 1953 di Istana Buckingham, Inggris. Konon, di sela-sela Pangeran Philip melepas ketegangan, Agus Salim menghampirinya seraya menghisap dan mengayun-ayunkan rokok kreteknya di sekitar dan tercium hidung sang pangeran. Sehingga terjadi percakapan unik di antara mereka untuk mencairkan suasana dan sekaligus mendorong pengaren bersikap ramah.