Industri Hasil Tembakau

Kontribusi Kretek terhadap Kemajuan Ekonomi, Sosial, dan Budaya

tembakau

Abad ke-21, industri pengolahan tembakau dan cengkeh berada pada masa keemasan dengan dominasi pasar hingga 93% di negeri sendiri. Industri ini tumbuh sejak dirintis pada akhir abad ke-19 dengan modal kecil-kecilan yang justru diabaikan oleh pengusaha Belanda (Eropa) masa kolonial Hindia Belanda.

Kemudian industri ini mengalami pasang-surut, ditandai oleh kerusuhan sosial sebagai dampak dari persaingan yang keras dan posisi pemerintah Hindia Belanda yang menindas golongan bumiputra. Mereka yang terlibat dalam industri ini merasakan dua perang dunia, menderita kehancuran pada perkebunan seiring tertancapnya kepentingan penguasa fasisme Jepang untuk tujuan memenuhi kebutuhan perang Asia-Pasifik, mengalami dislokasi ekonomi sebelum dan sesudah terbentuknya Republik Indonesia (RI).

Industri kretek juga dikesampingkan dalam kebijakan pemerintah Orde Baru seiring diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing (PMA) dan mengucurnya utang luar negeri terutama lewat Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang terbentuk pada 1967.

Namun, ketika “rejeki nomplok” pada periode oil boom – sejak pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an – terbuka celah untuk memperoleh pinjaman lunak yang menggairahkan kembali pertumbuhan perusahaan-perusahaan industri kretek. Tantangan dan ketegangan masih mereka hadapi menyusul beroperasinya VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) produk rezim Soeharto – Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) – yang melakukan monopoli pembelian dan perdagangan cengkeh selama dekade 1990-an.

Sampai akhirnya, krisis finansial menyapu Asia Timur dan Tenggara yang berdampak secara politis: Soeharto jatuh bersama BPPC dan kroni-kroni bisnis yang sudah dibesarkannya. Industri kretek tetap bisa bertahan, bahkan menunjukkan kemajuan pesatnya sesudah krisis finansial itu.

Lebih dari itu, berbeda dengan banyak jenis industri yang tumbuh di Indonesia, industri kretek adalah yang paling tua sesudah industri gula. Bahkan berbeda pula dengan industri gula, industri kretek justru mampu mendominasi pasar di negerinya sendiri. Lagi pula, industri kretek tidak pernah dikuasai oleh pengusaha Belanda di masa kolonial Hindia Belanda. Industri kretek menunjukkan kaitan yang besar dari hulu ke hilir, sehingga tidak bergantung kepada impor bahan baku, karena muatan lokal (local content) mencapai lebih 90%.

Bukan hanya pasar di negerinya sendiri yang didominasi, melainkan juga menembus pasar ekspor dengan 30 negeri tujuan dan nilai 400 juta dollar AS. Penerimaan negara dari pajak dan cukai rokok – bila ditabung dalam 10 tahun – bisa digunakan untuk bayar utang. Di sini letak ketangguhan industri kretek dalam menghadapi berbagai guncangan krisis dan gejolak politik.

Selain kontribusinya terhadap penerimaan negara dari cukai dan pajak lainnya maupun devisa, industri kretek juga memberikan kontribusinya terhadap lapangan kerja, upah dan tunjangan, serta tanggung jawab sosial dan partisipasi dalam kebudayaan. Berapa banyak orang yang menggantungkan hidup mereka dalam industri pengolahan tembakau – perkebunan tembakau dan cengkeh, serta industri rokok kretek – berdasarkan kaitan hulu ke hilir?

Berapa banyak kontribusinya terhadap kemajuan sosial dan budaya sebagai wujud tanggung jawab sosial (corporate social responsibility – CSR) mereka? Berapa pula perkiraan efek ganda (multiflier effect) atas peranan industri pengolahan tembakau itu?

 

Tentang Penulis

Membunuh Indonesia

Membunuh Indonesia

Redaksi Membunuh Indonesia mengumpulkan, mengarsipkan, dan memproduksi konten berupa artikel, dokumen, kajian ilmiah, dan sebagainya yang berkaitan dengan topik-topik ancaman kedaulatan ekonomi politik nasional.

Tinggalkan komentar