Awal abad ke-20 merupakan pertumbuhan penting pertama dalam industri kretek. Tahun 1909 berdiri perusahaan kretek di Kudus dan Blitar. Tahun 1911 muncul di Kediri dan tahun 1914 di Surabaya.
Namun, Oktober 1918 meledak kerusuhan di Kudus. Menimbukan kerusakan pabrik-pabrik kretek dan rumah-rumah. Kemunduran tidak terelakkan.
Usai kerusuhan itu industri kretek bangkit dari kehancuran. Cita rasa kretek yang khas sudah telanjur melekat di kalangan konsumen. Jumlah pabrik kretek pun mengalami peningkatan. Tahun 1924 tercatat 35 pabrik, dan pada 1928 sudah mencapai 50 pabrik di Kudus. Salah satu yang paling menonjol adalah perusahaan yang dimiliki Haji Nitisemito yang mempekerjakan 15.000 pekerja.
Sesudah di Cirebon, BAT membuka pabriknya di Surabaya pada 1928. Selang tiga tahun kemudian, jumlah perjualan rokok putih mencapai 7,1 miliar batang. Sedangkan kretek hanya mencapai 6,95 miliar batang.
Perusahaan kretek telah meluas di hampir seluruh kota kabupaten di Jawa Tengah. Demikian pula di Jawa Timur setelah Blitar, Kediri, dan Surabaya, muncul lagi di Nganjuk, Madiun, Jombang, Tulungagung, Probolinggo, Besuki, Bojonegoro, Ponorogo, Tuban, Sidoarjo, Mojokerto, dan Malang. Namun, peredaran rokok putih belum dapat ditandingi oleh kretek.
Ketika terjadi krisis ekonomi dunia 1929-1933, pendapatan pajak pemerintah Hindia Belanda anjlok. Sehingga diberlakukan beban pajak 20 persen bagi semua hasil tembakau pabrik. Sejak 1932 pabrik rokok harus membeli stiker bandrol pajak atau pita cukai untuk dipasang di setiap bungkusnya. Periode ini menjadi salah satu masa terberat industri kretek dan berdampak terhadap penurunan jumlah produksi. Tahun 1932, produksi kretek hanya 6,08 miliar batang.
Lebih berat lagi ketika terjadi Perang Dunia II. Rezim fasisme-militerisme Jepang menduduki Indonesia dengan bala tentaranya. Perekonomian diarahkan untuk menopang kebutuhan perang Jepang. Sektor perkebunan babak belur, diganti dengan tanaman pangan dan jarak yang digunakan untuk pelumas mesin-mesin. Produksi perkebunan merosot sampai 80%.
Produksi tembakau menjadi sangat terbatas dan sulit diperoleh. Industri kretek mengalami kemerosotan. Situasi ini bertambah gawat karena penguasa militer Jepang menyita banyak perusahaan kretek, termasuk NV Bal Tiga.
Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 tersirat penyebutan nama Nitisemito yang dikenal sebagai penggerak utama industri kretek, memberi sinyal arti penting perannya.
Republik Indonesia (RI) yang baru dibentuk itu harus kembali menghadapi agresi militer Belanda. Industri kretek hanya berkembang di kota-kota yang dikuasai Belanda, seperti Surabaya, Malang, dan Semarang. Pada 1948, industri kretek di Kudus bisa mengakses cengkeh impor. Sampai penyerahan kedaulatan RI, industri kretek tumbuh dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang sulit, apalagi harganya melambung akibat gagal panen di Zanzibar dan dampak yang menjalar dari Perang Korea.
Namun secara keseluruhan, industri kretek tetap bisa tumbuh. Selama 1959-1963 di bawah rezim Demokrasi Terpimpin, dapat dicapai produksi kretek rata-rata di atas 20 miliar batang per tahun.
Perkembangan ini beriringan dengan nasionalisasi perusahaan asing sejak 1957, terutama perusahaan milik Belanda, Inggris, dan Amerika, juga Jacobson van den Berg dan BAT.
Industri kretek juga menikmati keringan tarif cukai hanya 20 persen dari harga eceran. Secara umum juga terjadi pergeseran dalam industri rokok berkat kebijakan pemerintah yang menguntungkan kretek.
Sesudah pemerintahan beralih kepada Orde Baru Soeharto – lewat dukungan Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) untuk menggerakkan ekonomi dengan utang luar negeri dan modal asing – maka peta industri rokok diiringi dengan kembalinya BAT sebagai perusahaan rokok putih terbesar sejak 1968 untuk menancapkan lagi produksi dan pasarnya di Indonesia.
Pada 1970, rokok putih pun menguasai 40 persen pangsa pasar. Namun, dalam tahun yang sama juga Indonesia mengalami swasembada cengkeh dan pemerintah mencanangkan pengurangan impor supaya dapat menguatkan devisa.
Situasi perang antara Arab dan Israel ditandai dengan embargo minyak mentah terhadap pihak pendukung Israel. Sebagai negeri pengekspor minyak dan gas bumi, Indonesia menuai kelimpahan “uang minyak” (petrodollar) sejak 1974 yang sekaligus mengubah haluan kebijakan ekonomi.
Periode oil boom ini membawa dua keuntungan politik-ekonomi bagi industri kretek sebagai celah kebangkitannya. Pertama, dengan kelimpahan petrodollar ini memungkinkan sejumlah perusahaan rokok kretek memperoleh pinjaman lunak dan mereka menambah investasi untuk memperbesar kapasitas produksi. Pada paruh kedua 1970-an, produksi kretek mulai menggunakan filter. Kedua, migrasi penduduk ke luar Jawa lewat program transmigrasi diiringi pula dengan distribusi kretek secara lebih luas ke daerah-daerah para transmigran. Inilah salah satu tahapan penting di mana kretek menggusur pasar rokok putih.
Dalam dekade 1990-an, industri kretek berhasil menghapus ketergantungan yang tinggi terhadap cengkeh impor dari Zanzibar dan Madagaskar. Perkembangan ini juga diiringi dengan meningkatnya produksi tembakau domestik. Dampak positif atas kemudahan memperoleh bahan baku kretek secara domestik, maka industri kretek tidak goyah menghadapi guncangan krisis ekonomi. Kenyataan ini ditunjukkan dengan gelombang krisis finansial yang melanda Asia Timur dan Tenggara sejak pertengahan 1997 – banyak perusahaan besar dan perbankan ambruk – namun tetap tidak menggoyahkan keberadaan industri kretek.
Sejak 1998, produk-produk industri kretek mendominasi pasar di negerinya sendiri. Periode keemasan kretek terus bertahan sampai sekarang dengan menguasai pangsa pasar rokok sebesar 93 persen.
Selama 1990-an, jumlah produksi rokok kretek memang sudah melejit di atas 150 miliar batang per tahun, sedangkan rokok putih hanya dapat menembus 67 miliar batang.
Hanya rokok kretek yang dikerjakan dengan tangan – dikenal sebagai rokok klobot atau klembak – tidak dapat melampaui 10 miliar batang. Bahkan, Gappri memproyeksikan, jumlah produksi rokok secara nasional selama 2011 mencapai 300 miliar batang.
Dengan perkembangan industri kretek yang terus meningkat produksinya dan menguasai pangsa pasar di negerinya sendiri, telah menciptakan strukturnya seiring mekarnya sejumlah perusahaan sebagai raksasa di antara ribuan perusahaan industri kretek yang terkonsentrasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah dan tersebar di berbagai daerah.