Pemerintah kota Bandung menggelar Human Right City Conference, sebagai bagian dari rangkaian perayaan peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 beberapa bulan lalu. Puncak acara ditutup dengan Deklarasi Bandung Kota Ramah HAM yang ditandatangani oleh Ridwan Kamil, Walikota Bandung.
Gelaran Human Right City Conference merupakan upaya pemerintah kota Bandung memanfaatkan momentum KAA untuk menarik perhatian masyarakat Internasional. Dalam keterangannya, Ridwan Kamil mengklaim kota Bandung sebagai kota human right pertama di dunia. Pertanyaannya, apakah ucapan dan perbuatan sudah bisa disatukan oleh pemerintahan Ridwan Kamil? Jawabannya, tidak.
Pertama, kota Bandung tidak punya infrastuktur mendukung Kota Ramah HAM. Kedua, kota Bandung tidak terhubung dalam jaringan kota komisi HAM antar pemerintah di Asia Tenggara atau AICHR (ASEAN Intergovernmental Commissionon Human Rights). Ketiga, kota Bandung tidak ikut serta dalam deklarasi Gwangju terkait kota ramah HAM pada tahun 2011.
Sampai saat ini tidak ada payung hukum yang dapat mendukung cita-cita Bandung kota ramah HAM. Bilamana pun ada nanti, tidak ada jaminan kasus pelanggaran HAM di kota Bandung akan serius ditindak lanjut. Sekalipun pemerintah mengadopsi butir-butir piagam dunia tentang hak atas kota. Jika mengacu pada piagam yang diresmikan PBB pada 2014 ini, implementasi kota ramah HAM harus ditopang oleh kerangka hukum yang kokoh.
Jika memang serius pada isu ini, pemerintah kota seharusnya sudah jauh hari mengadopsi Piagam Dunia Tentang Hak Atas Kota, tahun 2005 dan Piagam Global Tentang HAM di Kota, tahun 2010. Contoh kecil pemerintah kota Bandung tidak sungguh-sungguh wujudkan kota ramah HAM terbukti pada penggusuran yang dilakukan terhadap pemukim di beberapa kawasan kampung kota (Lihat MI Frans). Pembiaran atas pembubaran dan pelarangan kegiatan peribadatan dan perhimpunan bagi kelompok agama tertentu juga kerap terjadi di kota ini.
Merujuk pada Piagam Dunia tentang Hak Atas Kota pada pasal 1 menyatakan “semua orang memiliki hak atas kota yang bebas dari diskriminasi berdasarkan jenis usia, status kesehatan, pendapatan, kebangsaan, etnis, kondisi migrasi, orientasi politik, agama atau gender dan untuk melestarikan nilai budaya dan identitas sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma yang ditetapkan dalam piagam ini”. Penggusuran dan diskriminasi terhadap masyarakat marjinal di kota Bandung adalah bukti terbalik bahwa pemerintah kota Bandung tidak ramah HAM.
Pemerintah kota Bandung terkesan terburu-buru umbar klaim sebagai kota ramah HAM. Klaim ini jadi komoditas politik pemerintah kota Bandung untuk: (1) mendapat simpati warga dengan menjejalkan citra pemerintah kota yang baik; (2) promosi figur Ridwan Kamil ke muka nasional dan dunia internasional. Kota ramah HAM cuma utopia. [F]