Rebutan kekuasaan atas perdagangan komoditi cengkeh yang mirip dengan VOC juga berlangsung di bawah orde baru. Selama 1990–98 beroperasi sebuah kekuatan monopoli dagang, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Keberadaan BPPC ini sempat menimbulkan konflik yang sengit dengan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).
Dalam periode monopoli BPPC, luas lahan cengkeh menunjukkan kecenderungan yang menurun. Menciutnya lahan perkebunan cengkeh mencapai titik terendah pada tahun 2000 yang hanya seluas 415.598 hektare dalam rentang 1990–2007. Sesudah BPPC dibubarkan, harga cengkeh mulai pulih dan mendorong petani kembali aktif menanam cengkeh.
Secara keseluruhan, luas lahan cengkeh selama 2008–12 cenderung mengalami pertambahan, yaitu secara berturut-turut 456.471 hektar, 467.403 hektar, 470.041 hektar, 485.193 hektar, dan 485.304 hektar. Lahan untuk tanaman cengkeh yang paling luas tetap berada di Sulawesi Utara. Kendati luasnya stabil, namun masih ada sedikit fluktuatif, yaitu berturut-turut selama 2008–12, yaitu 74.383 hektar, 75.920 hektar, 73.891 hektar, 74.148 hektar, dan 74.162 hektar. Sedangkan Maluku dalam dua tahun terakhir mencapai luas 43.566 hektar.
Sejak lama Sulawesi Utara merupakan sentra produksi cengkeh terbesar di Pulau Sulawesi. Selain itu tersebar pula di Sulawesi Selatan dan Tengah.
Lahan terluas ditempati Sulawesi sebesar 39%, kemudian disusul Pulau Jawa (28%), dan Sumatera hanya 13%. Sedangkan Maluku yang pernah menjadi sasaran serangan VOC dalam perebutan kepentingan monopoli cengkeh sejak abad awal ke-17, bersama Papua dan Papua Barat sebesar 12%. Daerah penghasil cengkeh di Maluku meliputi Kecamatan Amahe, Kairatu, Seram Barat, Bula, Taniwel, Seram Utara, Werinama, Leihtu, Salahutu, pulau Haruku, Saparua, Nusa Laut, dan Tehoru. Tahun 1994, luas lahan tanaman cengkeh di Maluku Utara mencapai 38,000 hektar, namun merosot sampai hanya 20,090 hektar.
Sebagian besar perkebunan cengkeh adalah perkebunan rakyat, karena banyak kebun cengkeh dimiliki oleh para petani kecil. Selama periode 1990–2007, petani kecil menguasai sebagian besar lahan perkebunan cengkeh.
Sedangkan penguasaan lahan yang lebih sedikit dimiliki pemerintah dan swasta, dengan persentase sekitar 20%. Sebaliknya, sebanyak 80% lahan cengkeh justru dimiliki petani kecil, sehingga disebut juga sebagai perkebunan rakyat. Usaha tani cengkeh merupakan bidang usaha yang berlangsung secara independen dan sudah sejak lama dijalankan petani.
(Dipetik dari Suryadi Radjab, Dampak Pengendalian Tembakau terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, h.79-82.)
Sumber foto: Flikr