Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X yang diterbitkan pemerintah pada hari Kamis 11 Februari 2016 pekan lalu, masih kurang memadai. Aturan dalam Paket Kebijakan Jilid X tidak jelas karena hanya mengatur kepemilikan saham bagi investor asing, tidak mengatur segala aspek termasuk soal operasionalnya.
Bagaimana sektor-sektor itu diproteksi pemerintah dan memastikan sepenuhnya tidak dikuasai asing? Enny pun menganggap pemerintah telah kebablasan dalam merevisi aturan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang menjadi fokus dalam Paket Kebijakan X, dan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Kalau hanya mengatur maksimum persyaratan, itu bukan DNI.
Sejumlah pelaku usaha di berbagai sektor merasa keberatan dengan kebijakan baru itu, dan meminta pemerintah membuat batasan yang jelas. Seperti pelaku usaha kafe dan restoran yang khawatir asing malah masuk dan menjalani juga bisnis restoran skala kecil, sebab kini kepemilikan asing di sektor itu dibuka 100% dari sebelumnya 49%. Ketidakjelasan aturan hanya akan membuat iklim usaha menjadi tidak sehat serta berdampak negatif pada pelaku usaha berskala kecil dan menengah. Alhasil akan banyak restoran lokal gulung tikar.
Keluhan yang sama juga dirasakan para pengusaha angkutan darat, perhotelan, dan industri karet Indonesia. Industri karet yang selalu dibanggakan sebagai penghasil devisa terbesar kedua di luar sektor migas, kini terancam tutup. Pengusaha karet menolak Kebijakan Ekonomi X dan menganggap keputusan pemerintah yang membuka 100% industri crumb rubber (karet remah) kepada pihak asing merupakan momentum runtuhnya kedaulatan industri karet Indonesia.
Industri crumb rubber merupakan industri hulu, salah satu sektor yang termasuk dalam 35 bidang usaha yang dikeluarkan dari DNI dan telah dibuka 100% untuk penanaman modal asing (PMA). Industri yang telah ada sejak tahun 1970-an ini dikhawatirkan akan segera bangkrut. Saat ini saja sebagian telah mati suri disebabkan bunga yang harus dibayar pengusaha untuk mendapatkan modal kerja kepada bank nasional sebesar 13% masih memberatkan. Sementara PMA mendapatkan modal kerja dari negara asalnya dengan bunga kredit 3%. Melihat kondisi ini pemerintah seharusnya dapat membantu industri ini untuk tetap sehat dan tumbuh, bukan malah menerbitkan kebijakan yang tidak berpihak.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra Utara, Edy Irwansyah mengatakan, bila alasan pemerintah membuka 100% industri crumb rubber kepada asing adalah untuk menambah lapangan kerja, jelas sangat keliru. Sebab, sebagian industri crumb rubber saat ini sudah merumahkan karyawannya karena bahan baku produksi jauh berkurang. Secara nasional bahan baku berkurang 40%. Untuk mempertahankan kedaulatan industri karet nasional, seharusnya pemerintah membuka 100% untuk industri hilir karet sehingga konsumsi domestik meningkat. [B]
Sumber foto: wiki