Berbeda dengan rokok putih yang hanya mengandalkan bahan baku utama tembakau, maka kretek justru membutuhkan bahan baku lainnya, yakni cengkeh (Eugenia aromaticum) dan disebut juga cloves.
Namun, cengkeh tidak hanya dimanfaatkan untuk produksi kretek. Cengkeh – dengan rasa pedas yang terkandung di dalamnya – tergolong rempah dan lazim juga digunakan sebagai bumbu masak. Bermanfaat pula untuk meningkatkan produksi asam lambung, menggiatkan gerakan peristaltik saluran pencernaan, menyembuhkan sakit gigi, perut kembung atau masuk angin, serta sakit kepala.
Selain rempah-rempah untuk bumbu dapur dan manfaat minyaknya, cengkeh bisa juga bermanfaat bagi bahan baku farmasi dan kosmetik.
Sebagian besar produksi cengkeh ditujukan sebagai bahan baku industri rokok kretek, bukan untuk bahan lainnya. Cengkeh sebagai bahan baku kretek inilah yang menimbulkan kekhasan rokok produksi Indonesia. Diperkirakan serapan cengkeh yang dibutuhkan dalam industri rokok kretek berkisar 80-90%, dan selebihnya dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya.
Dengan meningkatnya produksi kretek, maka meningkat pula kebutuhan cengkeh. Selama 2007-2011, laju produksi kretek per tahun rata-rata 4,2%. Dengan demikian, kebutuhan cengkeh juga mengalami peningkatan seiring meningkatnya produksi kretek.
Cengkeh dibutuhkan untuk beberapa jenis kretek, karena salah satu bahan utamanya. Jenis kretek yang dimaksud adalah sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM), dan mild. SKT membutuhkan paling banyak cengkeh, yakni sekitar 0,70 gram per batang. SKM butuh 0,40 gram dan mild butuh 0,25 gram cengkeh per batang rokok kretek.
Belakangan terjadi pergeseran dalam konsumsi kretek, karena kian banyak konsumen yang memilih rokok kretek yang lebih ringan, sehingga terjadi pula pergeseran dalam komposisi bahan kretek di mana kretek jenis SKM dan mild kian mendominasi.
Kendati terjadi kecenderungan tentang berkurangnya komposisi cengkeh dalam rokok kretek, namun kebutuhan cengkeh bagi pemenuhan kebutuhan industri kretek tetap tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang. Pada tahun 2012, kebutuhan cengkeh sudah lebih dari 120 ribu ton dan tiga tahun kemudian, pada tahun 2015, diperkirakan sudah menembus 130 ribu ton.
Banyak perusahaan rokok juga menyimpan cengkeh sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan tahun produksi berikutnya yang sekaligus pula untuk mengantisipasi defisit kebutuhan cengkeh dalam satu atau dua tahun kemudian.
Namun demikian, jauh sebelum munculnya kretek yang berbahan baku cengkeh sebagai produk industri rokok, cengkeh sudah terlebih dulu menjadi salah satu bagian penting dalam komoditas rempah-rempah yang dikuasai Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak awal abad ke-17 atau tahun 1620, dengan memonopoli perdagangan dan membatasi produksi supaya harganya stabil, terutama di kepulauan Maluku. Mereka yang tidak bersedia menjual rempah hanya kepada VOC, akan dihabisi.
Pada 1621, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengirim armada dari Batavia ke Pulau Banda untuk menghancurkan masyarakat setempat yang menolak monopoli Belanda. Pelayaran ini juga disebut sebagai pelayaran Hongi (Hongi-Tochten).
Sesudah VOC runtuh, pemerintah Hindia Belanda – dengan campur tangan yang berlebihan – menggenjot program Tanam Paksa. Sesudah program ini berakhir, maka secara perlahan tumbuh industri kretek yang sekaligus juga sebagai ciri khas rokok Indonesia. Peruntungan industri kretek sempat ditandai dengan kerusuhan sebagai buah konflik antarpengusaha yang sedang tumbuh.
(Dipetik dari Suryadi Radjab, Dampak Pengendalian Tembakau terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, h.77-79.)
Sumber foto: Flickr