Sejak tahun 1990-an industri farmasi mendapat berbagai kecaman akibat menggunakan teknik pemasaran yang memaksa. Terlebih industri ini membuat gusar masyarakat karena harga obat-obatan yang terus meroket. Untuk menghindari tuntutan masyarakat global, industri farmasi mengalihkan perhatian masyarakat dan para penegak hukum pada persoalan dampak kesehatan tembakau.
Sejak tahun 1991 perusahaan farmasi Johnson & Johnson yang telah beroleh persetujuan FDA untuk memproduksi obat terapi pengganti tembakau. Melalui yayasan RWJF (Robert Wood Johnson Foundation) mengarahkan perhatian pada pengendalian tembakau sebagai bidang prioritas dan memulai program hibah untuk mendanai upaya-upaya anti-tembakau.
Dalam sebuah wawancara, Nancy J. Kaufman dari RWJF mengakui lembaganya giat memberikan hibah pada para ekonom untuk mengembangkan formula penghitungan biaya sakit akibat rokok bagi program bantuan kesehatan negara, sehingga memungkinkan jaksa agung menggugat industri tembakau.
Sebenarnya jika ditinjau secara ekonomi, biaya untuk sakit yang diakibatkan obat-obatan farmasi jauh lebih tinggi. Perkiraan biaya medis yang paling banyak dipublikasikan untuk menangani sakit akibat rokok adalah antara $50 hingga $73 miliar, namun perkiraan biaya medis untuk menangani sakit akibat obat-obatan adalah antara $30 hingga $136,8 miliar. Perusahaan farmasi tidak menghendaki masyarakat luas untuk tahu kenyataan ini, sehingga mereka mencari pihak yang bisa dikambinghitamkan.
Pada Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 di Chicago, Direktur WHO Gro Harlem Brundtland mengumumkan kemitraan dengan tiga perusahaan farmasi besar dunia. Perusahaan itu adalah Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan SmithKline Beecham, yang semuanya memproduksi dan memasarkan produk-produk “pengganti nikotin” atau penghenti merokok lainnya.
Kemitraan dengan WHO dalam rangka memberantas tembakau secara global merupakan pukulan telak yang dilancarkan perusahaan-perusahaan farmasi. Langkah ini memposisikan mereka sebagai pahlawan yang membantu menyelamatkan dunia dari bahaya tembakau. Pada saat bersamaan, langkah ini juga mengalihkan perhatian masyarakat dari pertarungan sengit industri farmasi dalam rangka mempertahankan harga obat-obatan paten yang relatif tinggi di negara-negara berkembang. Namun selain itu, siasat ini berhasil melibatkan WHO untuk membantu mendongkrak penjualan obat-obatan berhenti merokok di seluruh dunia.
Berhasilnya kampanye untuk memberikan citra buruk pada industri tembakau itu menguntungkan kepentingan perusahaan-perusahaan farmasi multinasional dari berbagai sisi. Malang bagi Indonesia jika ikut termakan politik pengalihan isu perusahaan farmasi. Belasan juta warga negara Indonesia yang selama ini menggantungkan hidup pada industri tembakau menunggu pemerintah tegas menjaga kedaulatannya. [F]
Sumber gambar: Eko Susanto via Flickr