Mineral

Menyikapi Divestasi Saham Freeport

freeport

Tawaran divestasi saham PT Freeport Indonesia (FI) sebanyak 10,64% hingga 2019 dapat ditolak pemerintah Indonesia. Bercermin pada kasus ambil alih Blok Mahakam yang dikelola perusahaan minyak Perancis Total E&P Indonesie, pemerintah bisa saja mengambil alih pengelolaan tambang emas dan tembaga di Timika yang kini dikelola FI sampai habis kontrak pada tahun 2021.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot mengatakan, Freeport telah melayangkan surat penawaran saham sebesar 10,64% sehari sebelum batas waktu penawaran habis, Kamis (14/1/2016). Saham yang ditawarkan sebesar 10,64% dengan nilai Rp 23,83 triliun atau US$ 1,7 miliar (estimasi kurs: Rp14.016 per dolar AS). Sedangkan harga untuk saham Freeport seluruhnya mencapai US$ 16,2 miliar.

Induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoRan Inc, sendiri tengah di ambang kebangkrutan. Harga saham FCX saat ini ada di titik terendah yakni sebesar US$ 4,31 per lembar. Indonesia menjadi harapan terakhir Freeport-McMoRan. Perpanjangan kontrak operasi Freeport berarti memberikan jaminan bagi perusahaan asal AS itu untuk dapat menjual kontrak berjangka (futures stock) hasil tambangnya. Investasi kembali mengucur. Napas Freeport diperpanjang.

Pemerintah Indonesia pernah membantu Freeport bangkit dari kebangkrutan. Yakni pada 7 April 1967 setelah menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Sesaat setelah pengesahan Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) oleh Soeharto yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didikte oleh Rockefeller. Freeport jadi perusahaan asing pertama setelah Soeharto mengkudeta Soekarno. Padahal pada awal 1960 Freeport Sulphur diambang kebangkrutan ketika operasinya di Kuba dinasionalisasi Fidel Castro.

Tanggal 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerja sama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung emas di Papua. Namun Freeport Sulphur mengalami kenyataan sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat. Inilah asal-usul upaya AS lewat CIA untuk menggulingkan Soekarno dan para pendukung kemandirian seperti golongan nasionalis dan PKI.

Kontrak Freeport diperpanjang Soeharto pada 1991 selama 30 tahun lagi dan akan habis kontraknya pada 2021. Inilah kesempatan pemerintah untuk mengembalikan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia ini ke pelukan negara. Daripada memikirkan persentase saham yang sudah dipastikan tidak seberapa itu lebih baik pemerintah mempersiapkan rencana strategis untuk mengambil alih pengelolaan tambang di Timika tersebut.

Soal ambil alih pengelolaan, pemerintahan Joko Widodo sudah punya catatan bagus. Pada 2014 pemerintah memutuskan kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total. Pengelolaan blok migas itu dialihkan ke PT Pertamina (Persero). Sebagai imbalannya, perusahaan migas Prancis Total E&P Indonesie bersama mitra Inpex boleh membeli 30% saham Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak tahun 2017. Sedang saham mayoritas akan dimiliki negara.

Skema yang sama dapat dilakukan pada Freeport. Kontrak yang habis pada 2021 tidak perlu diperpanjang, sehingga pemerintah bisa langsung mengambil alih seluruh operasi tambang. Pemerintah dapat menunjuk BUMN pertambangan seperti PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Timah Tbk, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Freeport tidak layak untuk terus diberikan kesempatan mengeruk sumber daya alam Indonesia. Terlalu banyak preseden buruk terkait operasi perusahaan ini di Indonesia. Mulai dari dugaan sebagai penyokong dana CIA untuk menjatuhkan Soekarno, dan aksi intelijen lainnya. Freeport juga bertanggung jawab atas pembunuhan warga Papua dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi tambangnya.

Satu-satunya jalan terbaik adalah pemerintah mengambil alih seluruh operasi tambang di Timika. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan skema peralihan sejak hari ini. Selain soal persiapan pengelolaan aset, lokasi tambang tersebut mempekerjakan 40.000 karyawan yang mayoritas warga negara Indonesia. Hidup dan mati warga negara Indonesia bergantung pada pilihan pemerintah: nasionalisasi atau penjajahan gaya baru. [F]

 

 

Tentang Penulis

Muhammad Firman Eko Putra

Muhammad Firman Eko Putra

Penyuka teh, buku, dan petualangan.

Tinggalkan komentar