Mineral

Konflik Agraria Masih Akan Terus Terjadi

agraria

Pasca tragedi pembunuhan aktivis tambang Salim Kancil, perang bisnis pasir makin sengit di Lumajang. Harga pasir Lumajang yang sangat tinggi adalah pemicunya. Tumpang tindih izin penambangan pasir sebabkan sengketa lahan tambang antar perusahaan. Warga penambang tradisional terkena imbas, tidak bisa menambang di lahan sendiri.

Sebelum tragedi tewasnya Salim Kancil, harga pasir seukuran truk kecil senilai Rp400 ribu. Kini bisa mencapai Rp1 juta. Ketika dibawa ke luar Lumajang harga pasir meningkat drastis. Harga untuk satu tronton pasir yang sebelumnya sampai di Surabaya dengan harga Rp3,8 juta, saat ini bisa mencapai Rp7 juta.

Tingginya harga membuat sengketa perizinan penambangan pasir makin sengit. Sengketa bermula dari keluarnya izin tambang kepada 15 pemilik izin penambangan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur.

Delapan dari 15 izin itu diberikan pada korporasi yang memiliki alat produksi penambangan pasir modern. Warga setempat yang biasa menambang secara tradisional tersingkir. Seperti penambangan di Desa Bagi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejali.

Warga juga tersingkir di DAS Glidik. Di sana terdapat sengketa antara PT Lumajang Pasir Mandiri dengan PT Duta Pasir Semeru yang memperebutkan lahan tambang seluas 11 hektare. Meski tengah disengketakan, kedua perusahaan tetap melakukan aktivitas tambangnya di kawasan in.

Potensi konflik juga terjadi di sejumlah desa di sekitar DAS lahar Semeru yang jadi sumber bahan galian C atau pasir bangunan. Sebelumnya, di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, warga menolak aktivitas pertambangan pasir besi yang kemudian menewaskan Salim Kancil (52) warga Dusun Krajan II. Salim tewas dianiaya 30 orang milisi sipil yang dibentuk untuk kepentingan pertambangan pasir besi.

Konflik agraria akan terus terjadi selama pemerintah negara ini tidak menjalankan konstitusi UUD 45 Pasal 33 dan melaksanakan secara konsekuen Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Baik warga yang menolak tanahnya dieksploitasi korporasi tambang ataupun warga yang menggantungkan hidupnya dari penambangan tradisional adalah korban sesungguhnya dari peraturan agraria yang tidak adil. Tegakkan UUPA 1960.***

 

Sumber gambar: wikimedia

Tentang Penulis

Muhammad Firman Eko Putra

Muhammad Firman Eko Putra

Penyuka teh, buku, dan petualangan.

Tinggalkan komentar