Visi Indonesia menjadi “Poros Maritim” merupakan fokus kebijakan luar negeri Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo lima tahun ke depan. “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia,” ujarnya dalam pidato kenegaraan pertamanya Senin, 20 Oktober 2014 di Gedung MPR/DPR.
Visi memperkuat sektor maritim ini segera diterjemahkan presiden dengan menginstruksikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, untuk berkordinasi menindak para pencuri dan mafia ikan. Hasilnya, pada tanggal 31 Oktober 2014 lalu TNI menangkap lima buah kapal asing yang mencuri ikan secara ilegal di Laut Natuna, Kepulauan Riau. Lima kapal ilegal tersebut berisi 61 Anak Buah Kapal (ABK) asal Thailand.
Rabu, 19 November 2014, ratusan nelayan ilegal asal Malaysia ditangkap patroli gabungan TNI-Polri. Jumlahnya diperkirakan 200 orang. Penangkapan itu menjadi peringatan bagi kapal-kapal asing yang terbiasa beroperasi dalam wilayah kedaulatan Indonesia seperti dari Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam bahkan Taiwan dan Tiongkok.
Meski manufer koersif terhadap nelayan asing yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan belakangan ini, mimpi Jokowi untuk mengembalikan kejayaan maritim Indonesia nampaknya bukan perkara mudah. Aktivis dari Gerakan Dekrit Rakyat (GDR) Riza Damanik menilai langkah untuk mewujudkan poros maritim mesti menghadapi sejumlah persoalan struktural. Di antaranya, kebijakan liberalisasi operator pelabuhan seperti yang dialami PT Pelindo II. PT Pelindo II saat ini dikelola bersama operator pelabuhan Hong Kong, Hutchison Ports Indonesia atau HPI. Saham terbesar dikuasai perusahaan Hong Kong itu sebesar 51 persen, sementara Pelindo II hanya 49 persen.
“Jangan pernah mimpi kalau mau jadi poros maritim dunia, kalau liberalisasi sektor pelabuhan dilakukan maka potensi itu tak akan beri manfaat bagi Indonesia dan lebih banyak bahayanya. Prinsip kemandirian harus jadi inisiatif, bukan mengobral sektor strategis kita pada bangsa lain,” ujar Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional itu di Jakarta, Minggu, 16 November 2014.
Liberalisasi dalam sektor perikanan dari hulu ke hilir merugikan nelayan tradisional dan negara. Menurut laporan FAO (2010), Indonesia ditempatkan sebagai negara produsen perikanan ketiga terbesar di dunia di bawah Tiongkok dengan nilai produksi 5,384 juta ton. Namun, nilai ini tidak berdampak banyak bagi para nelayan tradisional yang jumlahnya mencapai 2,75 juta jiwa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009). Lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional.
Pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang berlaku sejak 1 Januari 2010 membuat Indonesia dibanjiri produk-produk perikanan dari Tiongkok. Dukungan pemerintah terhadap sektor perikanan nelayan tradisional sangat lemah. Padahal negara telah menyediakan landasan hukum untuk melindungi nelayan tradisional, yakni Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan.
Pada pasal 48 ayat (2) disebutkan bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. Namun pada kenyataannya, beberapa daerah masih melakukan pemungutan retribusi terhadap nelayan tradisional, seperti dilakukan Kabupaten Kendal.
Pasal 25B Ayat (2) juga mewajibkan pemerintah untuk mengutamakan kepentingan produksi dan pasokan di dalam negeri demi kebutuhan konsumsi nasional sebelum dipasarkan ke luar negeri. Ironisnya, hampir 75% hasil tangkapan nelayan berbendera Indonesia diperuntukan bagi pasar luar negeri, sebaliknya konsumsi tanah air justru dipenuhi ikan-ikan tangkapan nelayan Tiongkok, Jepang, hingga Filipina.
Logika sederhana kita mengatakan, bagaimana bisa Indonesia mewujudkan visi poros maritim jika dari hulu ke hilir sektor kelautan dan perikanan masih dikuasai asing. Lebih dari itu, kedaulatan pangan pun hanya akan menjadi isapan jempol belaka jika hasil produksi nasional masih diprioritaskan memenuhi permintaan ekspor ketimbang kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Kembali pidato di Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara Asia Timur (KTT EAS) di Nay Pyi Daw, Myanmar, Kamis, 13 November 2014, Jokowi menegaskan arah pembangunan dan kebijakan luar negeri Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia.
“Indonesia akan menjadi poros maritim dunia, kekuatan yang mengarungi dua samudera, sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa,” ujarnya. Bagaimana bisa memiliki kewibawaan maritim jika di mana-mana asing menunggangi sektor kelautan dan perikanan kita.
Sumber gambar: wikipedia