Kartel pangan diharankan di Indonesia. Larangan itu tertampung pada Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam pasal tersebut jelas disebut bahwa antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa yang dapat mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Namun pelanggaran terhadap aturan tersebut tetap saja terjadi, bahkan didiamkan oleh pemerintah.
Indikasi adanya praktik kartel pangan ini mengemuka sejak Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melapor pada Presiden RI. Selain dua komisi nasional tersebut, indikasi adanya praktik kartel juga dikeluarkan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Kadin melansir temuannya, bahwa ternyata komoditi yang ditetapkan swasembada, justru rawan dipermainkan dalam kartel. Komoditi tersebut meliputi daging sapi, daging ayam, jagung, kedelai, gula, dan beras. Sayang, hingga kini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku sulit untuk membuktikan dan mengatasi kartel pangan di Indonesia. Pengusaha yang melakukan praktik curang ini sangat lihai melepaskan diri dari jeratan hukum.
Jaringan dan sel-sel kartel pangan beroperasi secara rapi dan tertutup, bahkan mereka sudah terlibat sejak saat penetapan jumlah kuota impor bahan pangan. Artinya, sedari awal perusahaan dan pejabat pemerintah terkait memang telah membuat perencanaan bersama untuk menentukan kuota dan nilai impor bahan pangan tertentu untuk mereka mainkan. Lebih menyedihkan lagi, ini juga makin menunjukkan bahwa pejabat pemerintah dan pengusaha adalah bidan dari kelahiran kartel pangan di Indonesia. Maka tidak mengherankan jika keberadaan kartel pangan ini sulit untuk dilawan, dan rakyat harus menerima begitu saja berapa harga bahan pangan yang harus mereka beli.
Apabila ingin menghentikan praktik kartel pangan ini, maka dibutuhkan partisipasi masyarakat secara luas. Misalnya terkait dengan pembenahan terhadap data pasokan dan konsumsi pangan nasional. Data pemerintah mengenai hal itu selanjutnya bisa dibandingkan dengan data masyarakat. Dengan demikian, pada akhirnya pemerintah dan masyarakat memiliki data yang lebih valid dan akurat mengenai pasokan dan kebutuhan konsumsi pangan nasional.
Adanya data yang lebih valid dan akurat ini akan menjadikan importir nakal tidak dapat menahan stok atau memainkan opini untuk mempermainkan harga bahan pangan. Selanjutnya, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) perlu secara periodik meng-update kebutuhan dan suplai komoditi pangan. Terpenting lagi, pemerintah perlu membenahi regulasi impor. Sebab sistem kuota impor yang tertutup, diduga jadi peyebab adanya kolusi antara pemberi dan penerima kuota impor.
Untuk menghindari kolusi, maka tender pengadaan bahan pangan secara impor harus dilelang secara terbuka. Selain itu juga diperlukan penyederhanaan guna mempercepat proses perizinan impor. Dengan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan impor, maka harga bahan pangan bisa dijual dengan harga wajar. Hapus pungli di terminal peti kemas, atau sogokan pada petugas untuk mempercepat proses pengeluaran barang.
Pemberian sanksi yang tegas sesuai aturan perundangan juga mutlak harus diberikan, selain untuk memberi efek jera, sanksi ini juga akan berfungsi sebagai penyaring pengusaha nakal. Karenanya, perlu diberikan sanksi berat untuk para spekulan dan importir nakal. Pemerintah dapat menjerat dengan UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan. Selanjutnya perusahaan yang melanggar prosedur impor, layak dicabut izinnya. Nama pengusaha yang terlibat penimbunan harus dimasukkan daftar hitam dan dilarang memiliki usaha yang sejenis.